12 Days In Love (Part 1)



12 Days In Love
“One, two, three, jump! One, two, three, jump! One, two, there, jump! Oke, cukup untuk latihan hari ini. Besok kita latihan lagi jam 3 disini.”
                Begitulah setiap harinya. Latihan cheers sudah menjadi agenda rutinku. Entah mengapa aku selalu merasa antusias setiap akan latihan. Menari-nari, melompat, berteriak, semua begitu terasa menyenangkan. Hanya saja hal yang sama selalu membuatku tidak nyaman ketika selesai latihan cheers.
“Hai Reina, sudah selesai latihannya?”
“Kelihatannya?”
“Oh, iya sepertinya sudah selesai. Ini, aku bawakan minuman untukmu.”
“Terimakasih banyak, Ren, tapi aku tidak haus. Maaf, aku harus pergi sekarang.”
                Ini bukan yang pertama atau kedua kalinya, tapi ini yang kesekian kalinya. Ada-ada saja kelakuan mereka. Membuang waktunya didepan gedung olahraga untuk sekedar menyapa dan memberiku minuman dingin ketika aku selesai latihan. Seperti Renold yang baru saja aku tolak minumannya. Sepertinya aku lebih senang jika tidak ada siapapun yang menungguku ketika aku keluar dari gedung olahraga ini.
                Semua orang boleh iri padaku. Mataku yang sipit, hidung mancung, wajah yang tirus, memiliki tinggi dan berat badan yang ideal, kaki yang jenjang, berkulit putih dan mulus, ditambah lesung pipiku yang cantik ketika tersenyum, serta rambut panjang yang indah. Tidak salah mamaku memberi nama Kireina padaku, yang dalam bahasa jepang berarti cantik. Dan satu lagi, aku adalah ketua cheers di SMA Pelita Harapan ini. Memiliki banyak teman dan memiliki banyak prestasi di bidang seni. Baik seni tari maupun seni musik. Tidak heran banyak siswa yang berlomba-lomba bertingkah manis untuk mencuri perhatianku.
                Tapi kehidupanku tidak seindah yang kalian bayangkan. Mereka terlalu berlebihan, mereka tidak tulus. Tak jarang aku merasa terganggu dengan ulah mereka. Karena itulah aku tidak pernah memiliki teman dekat laki-laki atau pacar hingga saat ini. Padahal tahun ini aku akan berulang tahun yang ke-17. Eh, tapi aku normal lho. Aku tertarik pada laki-laki. Hanya saja aku belum menemukan orang yang benar-benar tulus padaku.
                “Adinda Kireina Utami Putri.” Aku melangkah menuju podium tempat pengalungan medali. Masa SMA ku telah selesai. Aku diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri jurusan Seni Musik dengan jalur prestasi.
                Hari baru siap menyambut. Kampusku terletak di salah satu kota besar di Jawa Barat, Bandung. Disini sangat berbeda dengan kota asalku, Jakarta. Warga disini lebih peka terhadap orang-orang di sekitarnya.
“Kireina?” mataku teralih dari makanan yang sedari tadi  melambai-lambai padaku.
“Iya. Siapa ya?”
“Aku John, kita satu SMA lho dulu.”
“Oh ya? Maaf, aku tidak tahu. Rasanya aku tidak pernah melihatmu sewaktu SMA.”
“Iya, dulu aku memang jarang keluar kelas.”
                Ternyata ada juga siswa dari SMA Pelita Harapan yang kuliah disini. Aku kira hanya aku yang melanjutkan pendidikan di Universitas ini.
                Setelah pertemuan pertamaku dengan John waktu  itu, aku menjadi akrab dengannya. John adalah mahasiswa fakultas ekonomi. Kami sering menghabiskan waktu bersama ketika ada waktu senggang. Mengobrol dengan John terasa menyenangkan. Sampai suatu hari hal yang paling aku benci terjadi.
“Reina, sepertinya kita sudah cukup akrab.”
“Lalu?”
“Apakah bisa aku menjadi teman dekatmu?”
Ah! Kenapa ini harus terjadi.
“Mungkin aku akan menjawabnya esok atau lusa. Maaf, aku harus pergi sekarang.”
Cepat-cepat aku keluarkan handphoneku, lalu mencari kontak bernama Elsa dan mengirimkan sebuah pesan singkat,
“cepat ke rumahku sekarang, ini gawat!”
                Elsa adalah sahabatku dikampus. Teman satu kelasku yang tidak percaya bahwa aku belum pernah memiliki pacar seumur hidupku.
                Tak lama terdengar suara ketukan di pintu rumah kontrakanku. Elsa datang dengan wajah yang begitu antusias. Aku yakin pasti ia sudah tahu apa yang akan kuceritakan.
“Lalu laki-laki mana yang berhasil membuatmu mengirim pesan singkat itu padaku?”
“Ia tidak berhasil. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara menolak yang sopan.”
“Ayolah Reina, apa yang salah dengan si kacamata yang senang berbisnis itu. Paling tidak ia tidak berlebihan dan tidak berusaha terlihat manis ketika mengobrol denganmu.”

Aku terdiam setelah mendengar kata-kata  yang keluar dari mulut Elsa. Elsa berhasil membuatku berpikir untuk merubah keputusan dalam 1 menit. Keesokan harinya aku menemui John ditaman tempat kami biasa mengobrol.
                “Jawabannya… iya.” Aku memulai pembicaraan ketika John duduk disampingku. Memang tidak ada yang salah dengannya. Laki-laki dengan tinggi 165cm dan berkulit putih ini setidaknya tidak melakukan hal-hal aneh seperti yang dilakukan kebanyakan teman laki-laki waktu SMA dulu. Lalu John hanya tersenyum.
Sepulang kuliah aku membanting badanku diatas tempat tidur yang sebenarnya tidak terlalu empuk. Baru satu menit aku memejamkan mata tiba-tiba handphoneku berdering.
“Hai Reina, sudah sampai rumah?”                                                                
                Aku heran mengapa tiba-tiba John mengirimku pesan singkat. Aku tidak membalasnya. Aku tidak terbiasa membalas pesan singkat yang menurutku tidak penting. Lalu handphoneku kembali berdering.
“Goodnight Reina, have a nice dream.”
                Lagi-lagi pesan itu dari John. Aku tidak mengerti ada apa dengan John. Biasanya ia tak pernah mengirim pesan singkat kecuali menginformasikan hal yang penting. Sekarang aku merasa sedikit geli dengan tingkah laku John yang aneh. Atau mungkin itu bukan aneh, tapi sedikit manis.
Keesokan harinya aku menceritakan keanehan John semalam pada Elsa.
“Reina, John itu pacarmu. Wajar ia ingin tahu keadaanmu!”
“Lalu kalau pacar kenapa? Ini kan hidupku.”
“Reina, pacar itu seperti bagian dari hidupmu. Ia berhak mengetahui keadaanmu. Itu karena ia peduli.”
“Mengapa harus seperti itu? Ah, mengapa harus banyak aturan ketika pacaran.”
                Semakin hari tingkah laku John semakin aneh, pada hari keempat ia meneleponku malam-malam. Jelas saja aku marah, karena kata mamaku menelepon orang dimalam hari itu tidak sopan. Apalagi bukan untuk hal yang penting. Lalu semenjak hari ketujuh, John selalu menjemputku ke kelasku. Setelah itu ia mengantarku sampai kerumah. Padahal aku bisa pulang sendiri. Sampai hari ke sepuluh John mengatakan persis seperti yang Elsa katakan 9 hari yang lalu.
“Aku ingin tahu keadaanmu, itu karena aku peduli.”
                Aku merasa tersinggung, ini adalah hidupku. Mengapa John sangat peduli, sekalipun ia pacarku, ia tidak berhak untuk mengaturku.
                Sampai hari ke-12 aku merasa terganggu dengan sikap John. Ia selalu mengingatkanku untuk makan dan istirahat. Ia pun selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Bahkan beberapa hari ini ia membuatkan aku sarapan. Padahal aku tidak akan pernah lupa untuk makan dan aku lebih senang berjalan-jalan bersama teman-temanku.
“John, aku ingin bebas. Mungkin lebih baik kita kembali berteman. Maaf.”
Kali ini aku mengirim pesan singkat pada John tanpa persetujuan Elsa.
“Ya.” Hanya itu balasan John. Aku lega John tidak marah padaku.
                Hari ini Elsa tidak masuk kuliah karena sakit. Dan John, aku tidak pernah melihat John sejak satu minggu yang lalu. Tepatnya semenjak kami putus. Sepertinya John menghindariku, dasar aneh. Jadi hari ini terpaksa aku duduk sendiri ditaman.
“Hai, Reina!”
                Aku mengalihkan mataku dari buku yang sedari tadi aku baca. Entah angin apa yang membawa orang aneh ini kehadapanku dan entah bagaimana ia mengetahui namaku. Padahal aku sama sekali tidak pernah melihat orang ini di kampus. Bahkan di seantero Bandung.
“Siapa kamu?”
“Kelihatannya kamu sedang sedih, apa kamu sedang mencari sahabatmu? Oh! Atau pacarmu?”
                Ya Tuhan, tidak sopan sekali orang ini. Rasanya tanganku ingin memukul wajahnya yang aneh itu. Apalagi ketika ia mengangkat salah satu alisnya ketika berbicara. Sebenarnya orang ini cukup tampan. Hidungnya mancung, rahangnya kuat. Sepertinya ayahnya turunan Arab atau ibunya turunan Pakistan. Ah, tidak penting turunan mana orangtuanya. Yang pasti, dia terlalu tampan untuk menjadi orang aneh.
“Tidak sopan menuduh orang yang bahkan tidak mengenalmu.”
“Ini seperti kutukan.”
“Maksudmu?”
“Dapat membaca pikiran orang lain.”
                Ia tampak sangat bersemangat saat bercerita tentang kutukannya itu. Tapi aku tak lagi mendengarkan perkataannya karena mataku tertuju pada seorang wanita yang sedang bercengkrama dengan akrabnya bersama seorang laki-laki yang tidak asing bagiku, John.
“Oh, jadi itu yang sedang kamu cari? Sepertinya kamu cemburu.”
“Dasar tidak sopan! Aku tidak percaya kamu dapat membaca pikiran orang.”
Aku menatapnya dengan tatapan sinis yang tajam dan siap mencakar mulutnya yang tidak sopan itu. Lalu aku bergegas meninggalkannya.

“Kalau begitu kau jangan sedih. Oh ya, hati-hati dijalan. Kau mau ke rumah sahabatmu yang sedang sakitkan?”
                Sial, bagaimana dia tahu aku akan pergi ke rumah Elsa. Senyumnya cukup licik untuk menunjukan bahwa dia mengetahui semua hal didunia ini. Ah sudahlah, semoga ini pertemuan pertama dan terakhirku dengan orang asing menyebalkan itu.
“Elsa! Kau harus tahu kabar terbaru dari John!”
                Aku mengguncangkan tubuh Elsa dengan keras. Elsa yang sedang tidur pulas sontak bangun karena tingkahku. Aku tidak ragu membangunkan Elsa dari tidurnya. Karena aku tahu, sebenarnya Elsa tidak sakit. Ia hanya mengantuk karena tadi malam ia menghadiri pesta ulang tahun teman SMA nya sampai hampir pagi.
“Reina!!! Kamu ini kenapa? “
“John, John punya pacar baru”
                Aku heran mengapa nada bicaraku menjadi aneh. Nadanya sendu, seperti nada bicara seorang peserta pencarian bakat yang dieliminasi tadi malam.
“Lalu kenapa? Dia kan sudah bukan pacarmu.”
“Memang bukan. Aku hanya tidak menyangka secepatnya itu John mencari pacar baru. Aku kira John laki-laki baik. Ternyata sama saja seperti yang lain.”
“John memang baik, tidak herankan banyak wanita yang suka padanya?”
Aku sedikit kaget dengan jawaban Elsa. Mengapa ia seperti berada dipihak John. Ia kan temanku.
“Ah, sebenarnya aku sudah tidak peduli pada John. Aku hanya kaget saja tadi.”
“Apa kamu yakin dengan kata-katamu itu? Kalau suatu hari nanti kamu merasa kehilangan John, jangan salahkan aku karena aku sudah tidak bisa membantu.”
                Hari ini seperti biasa,aku makan siang dikampus bersama sahabat terbaikku, Elsa. Sekarang ini cuaca sedang galau dan tidak bisa ditebak, pagi harinya cerah tapi sorenya hujan deras. Seperti hari ini, aku dan Elsa terjebak hujan dikampus. Jadi terpaksa kami menunggu hujan reda dikantin sambil melahap makan siang kami.
“Whats up Reina!”
                Sontak aku kaget. Hampir saja aku menelan bakso sebesar bola pingpong yang belum sempat aku kunyah. Ya Tuhan, orang aneh ini lagi. Padahal waktu itu aku sudah berdoa agar tidak bertemu lagi dengannya. Mungkin waktu itu aku kurang teraniaya jadi doaku tidak terkabul.
“Reina, sejak kapan kamu punya teman yang seperti ini?” Elsa yang tampak kebingungan berbisik padaku. Aku memang belum menceritakan kejadian waktu itu pada Elsa, menurutku orang aneh ini tidak penting. Untuk apa aku harus membicarakannya. Membicarakan Zayn Malik yang sedang pilek saja masih lebih penting daripada membicarakan orang aneh yang mengganggu dan katanya bisa membaca pikiran orang lain ini.
“Dia bukan temanku, bahkan namanya saja aku tidak tahu.”
Aku menjawab bisikan Elsa dengan suara yang cukup keras dan nada yang sedikit menyindir. Mataku yang sipit, mendelik saat dia tersenyum manis dan berkata,
“Oh, jadi kau ingin tahu namaku. Namaku Adit, dari Fakultas Ilmu Komunikasi. Lain kali kalau ingin berkenalan tidak usah malu-malu seperti itu.”
                Ya Tuhan, salah apa hambamu yang lemah ini. Mengapa aku dipertemukan dengan orang aneh dan menyebalkan ini. Belum selesai aku mengutuk diriku dalam hati, tiba-tiba Elsa bergegas membereskan tasnya.
“Reina, aku dijemput ibuku. Aku sudah janji akan mengantar ibu ke rumah temannya hari ini. Maaf ya Re, oh ya maksudku tadi, temanmu itu tampan, hihihi.”
Elsa menepuk pundakku dan ia sedikit berbisik ketika mengucapkan kalimat terakhirnya. Dengan wajah yang sangat menyesal Elsa meninggalkanku di kantin. Sepertinya ia lebih menyesal karena tidak sempat  berkenalan dengan orang aneh ini. Elsa belum tahu saja, bahwa orang ini lebih menyebalkan dari seekor kecoa.
“Tenang saja Reina, aku bukan orang jahat. Aku ingin menjadi temanmu. Boleh, kan?”
                Aku tidak terlalu peduli dengan kehadiran orang aneh ini. Aku pura-pura sibuk dengan handphoneku. Padahal, aku belum sempat mencharge handphoneku.
“Reina, coba lihat ke belakang.” Orang aneh ini mencoba menggangguku.
“Ayolah Reina, lihat sedikit saja. Kau pasti akan menyesal jika aku beritahu ada apa dibelakangmu dan kamu tidak sempat melihatnya.”
Akhirnya aku menoleh sedikit ke belakang. Aku hanya meringis. Mencoba tidak peduli dengan apa yang aku lihat.
“Memang sulit membohongi perasaanmu sendiri.”
“Apa maksudmu?”
“Sudah kubilang, aku bisa membaca pikiranmu.”
“Oh.”

“Kau masih mencintai mantan pacarmu itu kan?”
“Tidak.”
“Oh, baguslah kalau begitu. Karena wanita yang tadi bersama mantanmu itu adalah calon istrinya. Aku tahu banyak tentang hubungan mereka. Kalau kau mau tahu, aku bisa menceritakannya padamu.”
“Benarkah? Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!”
“Hahahaha, apa kubilangkau masih cinta, kan.”
                Ah, sial! Tanggapan antusiasku yang reflek ini berhasil mempermalukanku didepan orang aneh ini. Ah, habis sudah harga diriku. Bubur sudah menjadi nasi, eh nasi sudah menjadi bubur maksudku. Sudah terlanjur, mungkin memang sudah takdirku untuk berteman dengan orang ini.
“Baiklah akan kuceritakan semuanya, tapi ada syaratnya.”
“Apa?”
“Kau harus menjadi temanku. Karena aku tidak punya teman di Fakultasku. Dan kamu harus berhenti memanggilku orang aneh. Panggil saja aku Adit.”
                Ya, memang wajar kalau tidak ada  yang mau menjadi temannya. Sedikit membingungkan berteman dengan orang yang sok tahu seperti dia. Mungkin aku pun terkena kutukan. Kalau bukan  kutukan, lalu apa namanya berteman dengan orang aneh karena sebuah ketidak sengajaan yang memalukan seperti tadi?

Komentar